Membangkitkan Semangat Anak

Heri Hendrayana. Lahir dalam keadaan normal, lengkap kaki dan tangan. Masa kecilnya dihabiskan di antara tumpukan buku-buku bergizi, permainan yang penuh semangat dengan teman-teman sebaya, dan curahan perhatian serta kasih sayang berlimpah dari kedua orangtuanya.

Bapak Ibunya berasal dari kultur berislam yang berbeda. Begitu ia pernah bertutur kepada saya seusai shalat berjamaah di atas pesawat yang mengantar kami ke negeri Nabi Musa ‘Alaihissalaam, Mesir. Lebih penting dari itu, orangtuanya membesarkan Heri dengan wawasan luas, pendidikan terbaik dan kasih sayang yang sangat besar. Keduanya membesarkan dengan semangat religius yang kuat.

Umur sepuluh tahun adalah saat paling bersejarah baginya. Tepatnya 5 Oktober 1973, si kutu buku ini jatuh dari pohon setinggi tiga meter. Tangan kirinya patah. Sikut ke bawah jatuh terkulai seperti pelepah pohon pisang yang tanggal. Karena keadaan yang parah, tak ada pilihan lain untuk menyembuhkan kecuali dengan memotong tangannya. Diamputasi.

Ya, anak kecil itu kehilangan tangannya. Tapi tidak semangatnya.

Ketika sedang dirawat di rumah sakit untuk memulihkan kesehatan setelah satu tangannya harus direlakan hilang, bapaknya membawakan sekantong kelereng. Hadiah terindah yang ia terima saat itu. Bapaknya menemani dan melatih bermain kelereng dengan satu tangan. Bapaknya pula yang menumbuhkan percaya diri dan tidak menyibukkan dengan kekurangan.

Sepele kelihatannya, tetapi keakraban itu menguatkan jiwanya. Keakraban itu pula yang kita lihat pada diri Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, bukan hanya kepada anak dan cucunya sendiri. Rasulullah juga menampakkan keakraban dan persahabatan dengan setiap anak kecil, sehingga hati mereka dekat bahkan sebelum mereka mengerti hakikat risalah Rasulullah.

Kembali pada Heri Hendrayana. Bapaknya memberinya permainan dan menyediakan waktu untuk
bermain-main. Sebuah permainan sederhana yang membuat percaya dirinya tumbuh. Begitu pulang dari rumah sakit, dengan tangan yang tinggal satu, ia mengajak teman temannya bermain kelereng.
Dan ia mampu menguasai permainan dengan baik.

Inilah awal yang mengesankan. Sebuah pengalamankeberhasilan, sekecil apa pun, dapat membangkitkan kekuatan untuk memiliki percaya diri yang tinggi. Sebuah pengalaman keberhasilan, seremeh apa pun, akan membangkitkan semangat yang lebih besar lagi, lebih besar lagi, dan lebih besar lagi untuk mencoba tugas yang lebih pelik dan menghadapi tantangan yang lebih berat. Dan inilah yang dialami oleh Heri Hendrayana; tangannya satu, semangatnya seribu.

Kelak kita mengenalnya dengan nama Gola Gong, pemilik “Rumah Dunia”, taman bacaan sekaligus sanggar yang mengasah kreativitas anak-anak muda Banten. Awalnya ia dikenal dengan Balada Si Roy, sekarang menekuni penulisan karya-karya islami.

Tentu saja bermain kelereng tak cukup untuk menghibur dan menguatkan jiwa. Ada yang lebih berkesan baginya. Sebuah nasihat dari orangtua yang ia pegang sampai hari ini. Nasihat yang tampaknya sederhana, tetapi begitu membekas.

Gola Gong menuturkan, “Aku hanya berpegangan pada omongan bapak dan emak bahwa pada setiap peristiwa itu selalu ada hikmahnya. Jika seorang hamba Allah mendapatkan kesusahan, itu artinya Allah sedang menguji. Maka, berbahagialah orang yang sedang diuji Allah. Itu pertanda kalau Allah menyayangi kita. Ya, jika Allah menciptakan beban, pasti Allah menciptakan pundaknya.”

Kita mungkin pernah memberi nasihat serupa kepada anak-anak. Tetapi di antara kata-kata kita, ada yang membekas sangat di dada anak-anak yang masih belia itu hingga mereka dewasa. Sebaliknya, tak sedikit ucapan yang bahkan kita teriakkan keras-keras di telinganya, tetapi berlalu begitu saja bagai angin malam yang segera hilang kesejukannya begitu mentari pagi bersinar.

Apa yang membedakan? Wallahu a’lam bishawab. Salah satu yang berpengaruh adalah kekuatan yang menggerakkannya. Jika engkau ucapkan kata-kata itu untuk sekadar menghibur perih hatinya, maka anak-anak itu akan mendengarnya sesaat dan sesudah itu hilang tanpa bekas. Jika engkau ucapkan dengan sepenuh hati sambil mengharapkan turunnya hidayah untuk anak-anak yang engkau lahirkan dengan susah payah itu, insya Allah akan menjadi qaulan tsaqiila. Perkataan yang berbobot. Sebab bobot kata-kata kita kerap bukan dari manisnya tutur kata, tetapi karena kuatnya penggerak dari dalam dada: iman kita, niat kita.

Sungguh, andaikan setiap guru memberi nasehat kepada muridnya bukan karena kesal melihat tingkahnya, melainkan karena amat berat dirasakan olehnya langkah yang akan ditempuh anak-anak itu di masa yang akan datang, insya Allah setiap kata akan membang kitkan jiwa anak-anak didiknya. Begitu kuat, begitu bertenaga. Terlebih kalau kegelisahan itu bertemu dengan kegelisahan orangtua. Bukan bertabrakan. Karena itu, perhatikanlah siapa yang akan menyemai jiwa anak-anakmu. Lihatlah dengan sungguh-sungguh! Semoga setiap anak kita kelak mewarisi semangat para nabi dan salafush-shalih.

Hari ini, betapa banyak anak yang rapuh jiwanya, meski berlimpah makanannya. Mereka tumbuh dengan gizi yang lebih dari cukup, tetapi kurang mendapatkan penguatan dari ibu bapaknya. Mereka jarang memperoleh pengalaman sukses, meski otak mereka cerdas luar biasa. Sebab orangtua mereka sangat pelit memberi penghargaan dan sangat jarang memberi perhatian. Mereka memiliki kaki tangan yang lengkap, tetapi tidak mendapatkan kepercayaan diri yang kuat bahwa mereka terlahir di dunia ini karena ada amanah yang sanggup mereka pikul. Mereka melihat beban, tetapi tidak yakin Allah sudah memberi pundak baginya untuk menanggung. Anak-anak yang lemah jiwanya itu, kemanakah mereka akan berjalan kelak?

Beri Mereka Cerita yang Menginspirasi

Ada lagi selain pengalaman sukses. Anak-anak yang kurang memperoleh pengalaman sukses disebabkan guru yang kurang tanggap dan orangtua yang kurang perhatian, masih mungkin kita bangkitkan semangatnya dengan membawakan kepada mereka cerita-cerita yang menginspirasi. Ingat, hasil penelitian David McClelland yang didanai oleh CIA!

Saya sudah pernah bercerita kepada Anda betapa karakter berbagai bangsa banyak dipengaruhi oleh cerita yang mereka dengar saat masih kecil. Anak-anak yang rusak percaya dirinya, sulit kita bangkitkan semangatnya kalau mereka tidak melihat dan merasakan betapa diri merekan berharga. Sulit bagi mereka untuk bangkit dan memiliki semangat yang menyala-nyala kalau mereka tidak yakin bisa melakukan sesuatu yang berarti. Berat bagi mereka untuk mengobarkan semangat dalam dirinya kalau tak melihat contoh yang dapat menjadi cermin.
Sebuah cerita -apalagi kalau nyata-akan mampu berbicara lebih banyak dibanding nasehat bertubi-tubi di saat jiwa mereka belum tergerakkan. Sebuah cerita yang menginspirasi akan membuka mata mereka bahwa ada yang harus mereka kerjakan; bahwa pertolongan Allah masih akan hadir.

Teringatlah saya dengan pengalaman masa kecil. Di antara anak-anak sebaya, saya memiliki sejumlah
“kekurangan” yang bisa menjadi bahan ejekan. Bibir memble salah satunya. Beberapa teman merasa sangat asyik dengan bahan ejekan yang tak terbantah ini. Tetapi ibu saya menanggapinya dengan cara luar biasa. Bukan dengan menyuruh saya agar bersabar dengan bibir yang memble, tetapi mengajak saya untuk melihat sebuah kekuatan besar yang ada di baliknya: bahwa saya akan pandai bicara. Ibu tidak menampakkan kesedihannya, lalu bersimpati dengan apa yang saya alami tatkala diejek.

Tetapi sebaliknya, ibu bahkan menunjukkan kebahagiaan dan kegembiraannya, bahwa ada yang harus disyukuri dari bibir memble itu: saya akan menjadi pembicara! Dimana-mana. Hari ini, tentu saja menjadi pembicara bukan cita-cita saya. Sebab ada tanggung-jawab besar yang harus saya hitung. Tetapi untuk diri saya saat kecil, sikap ibu luar biasa besar artinya bagi saya.

Selebihnya nah, ini yang mau saya ceritakan ibu aktif membawakan buku dan sekaligus sering menuturkan cerita tentang orang-orang besar yang memiliki kekurangan fisik. Mulai dari Thomas Alva Edison, sampai Bilal bin Rabah; bekas budak hitam yang terompahnya sudah terdengar di surga.

Semangati dengan Cinta

Apa yang membedakan tokoh-tokoh besar itu dengan kita? Semangatnya. Mereka memiliki keyakinan yang sangat kuat, bahkan di saat orang lain tak sanggup membayangkan beratnya beban. Orang-orang besar itu mungkin bukan yang paling cerdas di antara manusia sezamannya. Tetapi dialah yang mampu melihat masalah sebagai tantangan (bukan beban) dan memandang masa depan sebagai peluang. Bukan ancaman.

Orang-orang besar itu bukan tidak bisa mengenali ancaman. Tetapi hati mereka lah yang begitu bercahaya. Mereka inilah yang sanggup membangkitkan jiwa-jiwa lemah untuk menemukan kembali kekuatan dan makna hidupnya. Mereka inilah yang melihat celah, di saat orang lain merasa tak ada peluang sama sekali.

Tetapi orang besar tidak dilahirkan. Orang-orang besar itu ditempa, diukir dan dipersiapkan oleh pendidikan yang baik. Salah satunya adalah tersedianya kesediaan untuk senantiasa menyemangati dengan cinta. Menggerakkan jiwa mereka untuk melakukan kerja besar yang bermakna. Bukan menyibukkan diri dengan kekurangan. Pertanyaannya, orangtua seperti apakah kita ini bagi anak-anak kita?


Penulis : Muhammad fauzil Adhim
Sumber : Majalah suara Hidayatullah, edisi Juni 2006

Komentar

Postingan populer dari blog ini

" Zah..Zah...Ustadzah.."

Ikatlah Semua Asa Di Langit-Nya

Saat Ikhtiar dan Doa Tak Sesuai Taqdir