Inilah Yang Disebut Episode Cinta Mewaris Ilmu

Ketika melihat rak-rak buku di rumah , jadi teringat masa kecil. Dahulu, rumah kami yang sangat sederhana dipenuhi buku. Hanya ada satu ruangan di rumah yang berfungsi sebagai tempat kami berkumpul, makan , sholat dan mengaji bersama sekaligus sebagai ruang tamu dan ruang kerja bapak sebagai guru di sebuah sekolah dasar. Yang paling mencolok dari ruangan itu adalah sebuah lemari buffet , yang seharusnya berfungsi sebagai lemari pajangan, namun pada akhirnya beralih fungsi menjadi tempat buku-buku yang berjejer rapi, juga tumpuk menumpuk karena jumlah bukunya yang tidak sepadan dengan ukuran buffet. Termasuk satu meja kerja bapak di sudut ruangan yang juga dipenuhi dengan buku.

Ya, saya terlahir dan besar dalam keluarga pecinta buku, khususnya bapak , yang rasa sukanya terhadap buku lebih dari orang kebanyakan. Sebagai seorang guru SD, setiap kali pulang mengajar bapak tidak pernah lupa membawa buku-buku dari perpustakaan sekolah untuk dipinjamkan kepada anak-anaknya. Dulu, tidak semua sekolah negeri punya perpustakaan yang memadai, seperti sekolah saya yang kebetulan berbeda dengan sekolah tempat bapak mengajar . Sekolah saya baru memiliki perpustakaan dengan koleksi yang terbilang lengkap ketika saya menginjak kelas 5 SD. Itu pun untuk peminjamannya dibatasi pada hari-hari tertentu . Dan ada salah satu buku yang ketika itu sangat menginspirasi saya untuk belajar menulis sebuah cerita. Judulnya pun masih sangat saya ingat, yaitu "Sahabat Di Atas Bukit ". Adakah yang pernah juga membacanya?

Kebiasaan membaca dan suka buku sudah ditanamkan bapak sejak saya masih kecil. Setiap malam sebelum tidur bapak sering mendongeng untuk kami, anak-anaknya. Dan saya ingat betul, dongeng bapak saat itu lebih pada dongeng-dongeng bertemakan akhlak, perjuangan Islam, peradaban Islam serta tokoh-tokoh pergerakan Islam. Mungkin karena memang latar belakang kehidupan dan aktifitas bapak yang kental dengan nuansa itu. Buku-buku yang ada di rumah pun bukan buku-buku bacaan anak seperti yang sekarang saya dan anak-anak punya. Bisa jadi karena dulu bacaan khusus anak yang berkualitas masih terbilang langka dan itupun hanya terjangkau bagi kalangan terbatas.

Jadilah masa kecil saya sudah dikenalkan bapak dengan buku-buku “kelas berat” seputar peradaban Islam, sejarah wali sanga, Tafsir Al Azhar Buya Hamka, kitab Bidayatul Mujtahid hingga majalah Panjimas. Kondisi ini menumbuh-kembangkan sifat dan naluri saya yang membutuhkan bacaan khas anak-anak. Bisa dibilang, saya semakin haus akan bacaan dan selalu berusaha mencari buku untuk dibaca.

Di bulan Ramadhan, untuk mengisi waktu jelang berbuka, bapak biasa mengajak saya beserta kakak dan adik untuk pergi ke toko buku. Tempat favorit kami saat itu adalah toko buku “Walisongo” di daerah Kwitang, Senen. Walaupun kami kesana tidak mengkhususkan diri untuk membeli buku. Biasanya bapak akan berpesan,” Nanti disana lihat-lihat dulu buku dan harganya. Kalau ada yang bisa dibeli, boleh langsung beli. Kalau ada buku yang disukai tapi harganya belum terjangkau, di catat saja judul , penulis dan penerbitnya ,ya. Nanti kita nabung lagi untuk beli buku itu, InsyaAllah suatu saat akan terbeli." Begitulah cara bapak mengajarkan kami untuk selalu optimis.
Di toko buku, kami pun seringkali memang hanya sekedar menumpang membaca. Walau sebenarnya tidak diperbolehkan, namun karena seringnya kesana dan sebagian besar pegawai toko sudah sering melihat kami, maka jadilah kami dibiarkan “sekedar” membaca buku-buku yang ada. Mencari sudut ternyaman,duduk bersila, tanpa suara, khusyuk membaca ; seperti syarat yang diajukan.

Walaupun kemudian akhirnya pulang tanpa membawa buku, kami semua merasa puas bisa mendapat kesempatan membaca sebagian isi buku, ditambah daftar buku incaran yang siap diwujudkan dengan cara mengumpulkan uang jajan dalam sebuah celengan tanah liat berbentuk apel. Satu hal yang juga paling berkesan setelah pulang dari toko buku adalah kekaguman saya kepada para penulis yang secara luar biasa sanggup menulis buku hingga ratusan halaman itu.
Kata bapak lagi,”Mereka itu bisa menulis karena mereka suka membaca...”

Itulah satu motivasi yang hingga kini tertanam kuat di benak saya. Saya yakin bahwa kalimat-kalimat itu bukan hanya ditujukan kepada saya, tapi juga hingga anak-cucunya. Sungguh, saya selalu bersyukur karena sejak kecil selalu memiliki banyak kesempatan untuk berinteraksi dengan buku. Satu warisan berharga dari orangtua saya, yang juga harus di wariskan kepada anak-anak saya, sebagai bentuk amanah darinya: ”Suka buku dan Suka baca ! ”

Jangan ditanya, berapa buku yang sudah terbaca atau dikumpulkan sejak saat itu. Saya tidak akan ingat jumlah pastinya. Yang jelas, ketika buffet sudah tidak mampu menampung buku-buku yang saya beli, baik itu dari hasil mengumpulkan uang jajan sekolah, hadiah kenaikan kelas dari bapak atau hadiah khatam quran, buku-buku tersebut pada akhirnya saya tata rapi di kardus-kardus besar yang saya dapatkan dari Koh Ahong, pemilik toko kelontong yang persis berada di sebelah rumah saat itu.

Ketika liburan sekolah, muncullah keinginan agar teman-teman sepermainan bisa ikut menikmati buku. Maka digelarlah lapak kecil-kecilan di depan rumah berisikan buku-buku yang kami miliki untuk dipinjamkan atau disewakan kepada teman-teman. Ada yang membaca di tempat, ada juga yang ingin membawanya pulang untuk dibaca di rumah. Saya dan kakak mengenakan uang sewa kepada mereka yang membawa pulang buku-buku kami untuk mengikat komitmen agar buku-buku itu diperlakukan dengan baik dan dikembalikan lagi dengan kondisi yang sama ketika dipinjam. Dengan Rp.25,- teman-teman sudah dapat membawa 3-4 buku bacaan ke rumah dengan jangka waktu peminjaman satu pekan. Sekarang koin Rp.25,- saja sudah tidak ada ya?

Oh iya, satu hal yang paling membuat saya ingat tentang buku adalah saat kondisi kami yang belum mampu menyediakan tempat yang layak buat buku-buku itu. Seringkali saya harus meringis dan menahan perasaan, karena ada beberapa buku yang harus kami relakan menjadi santapan tikus-tikus pengerat. Atau disaat banjir menghampiri, kami pun harus rela kehilangan beberapa buku yang terlewat untuk diselamatkan. Tapi, kehadiran tikus maupun banjir ternyata tidak mampu menyurutkan kami untuk terus membaca dan menambah koleksi bacaan.

Ada lagi yang menginspirasi untuk terus berinteraksi dengan buku. Di masa itu ada sebuah serial keluarga di TVRI yang mengesankan. “Rumah Masa Depan”. Serial televisi dengan tokoh utama kakak beradik bernama Bayu dan Gerhana, serta sahabat mereka yang bernama Sangaji. Sosok yang digambarkan sebagai anak yang cerdas, berkacamata, dan bekerja sebagai penjual buku serta majalah bekas yang juga selalu habis dibacanya hingga wawasan seorang Sangaji melebihi wawasan anak-anak seusianya. Inspiring !

Waah, keliatan jadulnya ya saya, hehehe.

Dan saya juga masih ingat bagaimana caranya memenuhi dahaga akan bacaan. Karena dulu tidak sanggup membeli majalah Bobo atau Kawanku edisi terbaru, maka saya pun rela menyambangi lapak-lapak majalah bekas untuk membeli majalah-majalah edisi lama itu yang pastinya dijual dengan harga miring. Saat itu saya selalu bersemangat mengumpulkan uang jajan hanya untuk membeli sebuah Majalah Bobo bekas yang saat itu dibanderol seharga Rp.200,-. Sedangkan uang jajan yang saya terima dari orangtua setiap harinya hanyalah Rp.50,-. Maka untuk mendapatkan satu majalah BOBO bekas, saya harus menunggu hingga 4 hari sebelum mendapatkannya. Dimasa itu, empat hari terasa sangat lama :)

Ketika itu juga, demi memenuhi keinginan untuk membaca berita setiap hari, maka saya relakan menyisihkan uang jajan kembali, atau terpaksa merengek kepada mama untuk diijinkan membeli koran setiap hari. Tidak jarang saya rela berpanas-panas disiang hari mengayuh sepeda mini kesayangan menyusuri jarak beberapa kilometer untuk mencari majalah edisi terbaru demi memenuhi keinginan mendapatkan informasi dan bonus terkini .

Begitulah, bapak dan mama selalu saja mengijinkan saya mendapatkan majalah atau buku-buku yang saya kehendaki walau dengan penuh perjuangan. Bahkan, seringkali ketika mencoba mengirimkan tulisan saya ke beberapa majalah, terselip sebuah harapan kelak ketika tulisan saya dimuat, honornya akan digunakan untuk membeli buku. Beberapa kali saya juga selalu memperlihatkan hasil coba-coba menulis saya kepada mereka, dan seketika mereka mengatakan, ”Bagus…kirimkan saja...InsyaAllah dimuat...”. Kalimat itu selalu saja membuat saya tersipu dan bersemangat.

Pada akhirnya, ketika hari ini saya dan keluarga kecil saya dimabuk cinta terhadap buku, rasanya memang tidak salah kalau saya harus kembali mengingat betapa luar biasanya cinta dan motivasi orangtua saya saat bersungguh-sungguh mengenalkan dan membuat saya menjadi booklovers seperti saat ini, meskipun dalam kondisi seadanya, secukupnya, ala kadarnya, tapi motivasi dari mereka tidak pernah luruh. Itu artinya, bilamana saat ini saya bisa menghadirkan kondisi yang jauh lebih dari sekedarnya untuk anak-anak saya, pastilah mereka akan menjadikannya sebagai motivasi yang jauh lebih baik daripada cinta buku yang apa adanya.

Jadi, kalau mau anak anak kita suka buku , wariskan saja kebiasaan kita suka buku dan membaca buku kepada mereka dengan memberikan contoh dan dukungan penuh untuk mereka terhadap buku.

Jangan terlambat memulai, ya..!
==========================================================================
Teriring sayang dan cinta untuk bapak dan mama…

Komentar

Postingan populer dari blog ini

" Zah..Zah...Ustadzah.."

Ikatlah Semua Asa Di Langit-Nya

Saat Ikhtiar dan Doa Tak Sesuai Taqdir