Terluka - Melukai






Sejak kemarin berita remaja berusia 15 tahun yang membunuh seorang balita menjadi bahasan. Menelusuri keping-keping puzzle kisahnya yang tersaji dalam narasi-narasi berita. Film-film sejenis Chucky, Slender Man dan beberapa film horor penuh kekerasan memang dikabarkan menjadi genre film yang sering dinikmatinya. Semua imajinasinya juga terwujud dengan dukungan kecerdasan yang dimiliki, khususnya kecerdasan visualnya yang teramu dalam bentuk gambar-gambar yang ditemukan di rumahnya. Namun, sepertinya itu bukan sekedar gambar atau sketsa sebagai bentuk hobby dan pelampiasan rasa level biasa, melainkan sudah menjadi letupan-letupan rasa dengan level emosi yang sulit terlukiskan.

Ya, tapi sepertinya ini juga bukan hanya sekedar tentang apa yang menjadi tontonan sang remaja yang kemudian disebut sebagai faktor pemicu yang melatarbelakangi aksinya. Ada hal utama lain yang sepertinya perlu kita cermati dan menjadi catatan penting yang juga bisa kita ambil sebagai pelajaran.

Ada luka psikis ( mungkin ditambah fisik ) yang terus menganga lebar memenuhi hari-hari kehidupannya. Luka yang datang dari orang-orang terdekat yang seharusnya bisa menjadi tempat bersandar jiwa dengan nyaman, tempat menuangkan kesah dan resah tanpa menghadirkan gelisah di kemudian hari, tempat menemukan kasih sayang yang tak berbilang walau mungkin hadir dengan segala keterbatasan.

Sinyal luka-luka hati dan jiwa sang remaja seolah memang tertuangkan dalam bentuk gambar-gambar dan sebagian tulisan dalam kertas-kertas miliknya yang ditemukan, semisal :

" Please dad...don't make me mad, if you not want death. I will make you go to grave.."

"Mau Siksa Baby? Dengan senang hati atau tidak tega".

Ada juga , "I'll learn to change my life but I need more time," dan "I will always love you. Who? unknown."

"Tomorrow I will try to laugh see my dad is death gone forever."

Ah, ikut sesak membacanya, bukan ?
Jadi teringat beberapa waktu lalu, saya juga pernah mendapat curhat dari seorang remaja belia tentang hubungan dengan sang ibu yang penuh tekanan, hingga berulang kali sering hadir keinginan untuk melihat ibunya 'mati ' saja, entah olehnya atau tersebab yang lain. Perihnya terasa sekali dari aliran ceritanya 😭
Qadarullah, remaja belia ini bertemu dengan lingkungan yang bisa dibilang 'baik'. Ia pun kemudian bisa menemukan tempat bercerita yang tepat, menemukan aktifitas yang mengurangi 'letupan-letupan' emosinya dan terus mengarahkannya pada wadah-wadah bi'ah ( lingkungan ) yang 'bersih'. Perlahan, ia terus dibantu untuk membasuh luka-luka pengasuhannya. Walau tetap masih meninggalkan 'bekas', minimal luka itu tidak menganga, tidak menimbulkan perih yang sangat hingga menghadirkan letupan-letupan jiwa yang tidak semestinya.
Karena, luka itu hadir malah dari mereka yang terdekat yang seharusnya selalu membersamai dengan kehangatan cinta dan empati yang luar biasa. Ketika luka itu ada, tersayat-sayat tanpa obat, kemudian bertemu dengan lingkungan dan suasana yang semakin membusukkannya, maka luka itu akan tumbuh membawa aroma yang bisa jadi melukai apa yang juga ada di sekitarnya. Mereka perlu dibantu untuk membasuh jiwanya yang terluka. Luka yang sejatinya begitu memerihkan bukan hanya untuk pemilik luka, bahkan oleh semua yang melihatnya.
Kembali ke kasus remaja kemarin, tentu menjadi pelajaran untuk kita semua, terutama para orangtua untuk selalu berazzam agar bersungguh tidak menghadirkan luka pengasuhan untuk anak-anak dalam episode membersamainya, tidak abai pula dalam menjaga, serta tepat memberikan hak mereka sesuai tahapannya juga menguatkan pondasi-pondasi jiwanya.
Dan untuk semua lingkungan yang ada dan membersamai, semoga dapat pula bersinergi, berusaha mewujudkan suasana yang bisa menghadirkan penjagaan generasi secara optimal bersama-sama.
========
@fitry_ummuza

Jakarta
8 Maret 2020

Komentar

Postingan populer dari blog ini

" Zah..Zah...Ustadzah.."

Ikatlah Semua Asa Di Langit-Nya

Saat Ikhtiar dan Doa Tak Sesuai Taqdir