Nafsu Keibuan

" Apa Ummi berniat memberi Za les tambahan di luar jam sekolah ? kalau ya, biar nanti bareng di tempat anak saya les. Bagus lho..dan nanti kan bs berangkat dan pergi sama-sama."

Begitulah pertanyaan seorang teman yang juga orangtua murid di TK Za, anak saya.

Saya agak terkesima dengan pertanyaan itu. Les tambahan untuk anak berusia lima tahun ? Ketika untuknya belajar adalah bermain dan bermain adalah belajar ? Ketika ia dapat menghafal begitu banyak huruf vokal dan konsonan karena huruf a bisa digambarkan sebagai sebuah apel, atau huruf i bisa dilukiskan menajdi sekumpulan cerita ikan, dan o bisa dilihat dari buku-buku bergambarnya, papan-papan iklan dipinggir jalan sampai sekumpulan bentuk diatas piring yang dipenuhi oleh kue donat berlubang ?

Saya membayangkan Za saya duduk di kursi kecil dengan tangan terlipat, menyimak guru lesnya mengajarkan menulis atau membaca huruf-huruf. Membayangkan matanya yang merah dan lelah karena sejak pagi diapun sudah menghabiskan waktu di sekolahnya. Ditambah siang atau sorenya ia harus mengikuti les tambahan dengan pola yang hampir serupa.

Tapi, pertanyaan itu memang tidak salah.Ketika keputusan memberi kan anak-anak les tambahan menjadi semacam jalan bagi orang tua ketika dihadapkan pada peraturan tidak tertulis dari beberapa sekolah dasar yang mendahulukana anak-anak pra sekolah yang telah dapat membaca dan menulis. SD pun menjadi sekolah sibuk karena anak sudah mulai dibebani oleh PR yang bertumpuk.

Namun, betapa mengerikannya juga jika saya membiarkan nafsu keibuan saya membuat anak saya harus kehilangan masa kanak-kanaknya. Alangkah mengerikannya jika suatu saat saya menemukan anak saya tidak pernah bisa menikmati indahnya persahabatan. Nikmatnya memetik hikmah dari ufuk-ufuk semesta. Dan, yang lebih penting lagi, nikmatnya mensyukuri segala sesuatu yang paling sederhana sekalipun, hanya karena ia tidak pernah dibiasakan untuk memetik beribu pelajaran tersembunyi dari kehangatan hubungan interpersonal. Dari gemerisik daun yang ditiup angin hingga gelegar petir ketika hujan. Dan dari nikmatnya memberi selembar ribuan kepada orang msikin.

Lebih mengerikan lagi ketika ia tidak pernah merasakan nikmatnya belajar, karena sejak usia yang sangat muda, ia hanya tahu bahwa yang namanya belajar adalah sama dengan duduk diam, konsentarsi penuh dan pengalaman ketegangan yang menekan antara keberhasilan dan kegagalan yang tidak ada habisnya.

Allah telah memberikan alam semesta sebagai les tambahan untuknya, sejak ia ada di dalam kandungan. Semua orang yang ditemuinya telah menjadi guru baginya untuk bersosialisasi. Tugas saya sebagai ibu adalah membuatnya sadar bahwa alam semesta selalu menyimpan pengetahuan yang menakjubkan dan tidak pernah habis. Saya akan selalu berusaha menggandeng tangan, hati dan pikirannya untuk belajar mengenali bahwa yang bergelantung di dahan itu bernama daun, warnanya hijau, jumlahnya satu, dua, tulisannya d-a-u-n..dan penciptanya adalah Allah..Rabb Yang Maha Esa

Komentar

Postingan populer dari blog ini

" Zah..Zah...Ustadzah.."

Ikatlah Semua Asa Di Langit-Nya

Saat Ikhtiar dan Doa Tak Sesuai Taqdir