Ciptakan Bonding Yang tak Biasa

Jadwal telepon dari si sulung di asrama menjadi penantian setiap pekannya. Aktivitas 1 pekan akan tertuang dengan runut dalam satu jam kami bersua lewat udara itu. Pekan kemarin, karena beberapa hal, jadwal telepon terlewat. Artinya, harus menunggu pekan ini untuk bisa mendengar suaranya. Berbeda dengan sebelum-sebelumnya, jadwal telpon kali ini tidak seperti biasanya. Feeling seorang ibu mengatakan, bahwa hari ini dia harus menelpon. Satu pekan ini perasaan saya sedikit membiru. Hati kecil saya mengatakan kalau ada yang harus segara dia sampaikan, ada yang harus dia ceritakan. Saya merasa, kondisi hatinya sedang rumit. Ada beban yang harus segera dia bagi dengan kami, orangtuanya. Apalagi besok jadwal USBN pertama. Tapi, bukan, bukan tentang USBN. Entahlah, saya merasa yakin ada hal lain.

Tapi, sayang. Di jadwal biasa dia menelpon ini, ponsel saya tidak kunjung berdering sebagai tanda panggilan awal bahwa dia siap kami telpon balik. Ketika mencoba mendahului menelpon pun, ternyata suara dari sana menandakan bahwa ponsel dalam kondisi tidak aktif. Akhirnya, mencoba bertanya pada pihak asrama. Nihil. Belum pula ada balasan. Sempat agak gusar karena tidak ada kabar apapun, apakah jadwal telepon memang dialihkan atau sedang ada kegiatan lainnya. Ditambah, alarm hati seorang ibu terasa makin "nguing-nguing”, diiringi wajah si sulung disana. Entah ada apa, tapi feeling saya berkata dia membutuhkan minimal telinga kami untuk mendengar gundahnya. 
Astaghfirulah, teringat untuk segera menata hati agar perasaan ini tidak nyetrum kepadanya. Memasrahkan utuh kembali kepada-Nya. Ya, akhirnya mencoba berdamai sementara waktu. Tetap berharap segera ada kabar. Saya pun melanjutkan beberapa aktivitas diluar, tentunya dengan memperbanyak dzikir menenangkan hati yang sedikit galau. Duh, terkadang beginilah emak-emak 😊

Sore, setibanya di rumah kembali, aura wajah saya sepertinya sudah terlihat tidak enak. Suami pun seolah sudah ngeklik, karena saat menunggu telpon tadi saya bolak balik japri dia. Ceritanya menuangkan resah...hahaha. Maafkeun, ya bi.. 
Dan, akhirnya kabar yang ditunggu datang. Saya bisa menelponnya, walau akhirnya memang diluar jadwal. Alhamdulillah. Benar saja, saat pertama mendengar suaranya, saya sudah merasakan hal yang berbeda. Ada yang tertahan. Dan mengalirlah semua gundahnya. Tangisnya sempat pecah, saya pun merasakan sesaknya. Di satu sisi, tetiba saya bersyukur jadwal telponnya beralih ke jam ini, saat abinya sudah di rumah. Ya, saya membutuhkan kolaborasi dengannya untuk menenangkan dan menguatkan si sulung ketika dia merasa sedang memiliki masalah.

Pengasuhan anak-anak, wajib menyatukan dua karakter, laki-laki & perempuan. Itulah kenapa, pernikahan dilakukan oleh laki-laki dengan perempuan, kan ? Bukan sesama jenis. #ups 
Ya, anak-anak adalah manusia yang sejatinya membutuhkan pengasuhan dari dua karakter ini. Seperti si sulung. Menghadapi gundah dan masalahnya, dia membutuhkan saya; ibunya, dengan karakter penciptaan dan kodrat yang sama dengannya, untuk bisa menenangkan dan merasakan apa yang dia rasakan ( sesama wanita ). Empati. Saya bertugas menegaskan bahwa saya ikut merasakan apa yang dia rasakan dan memposisikan diri menjadi tempat membuang resahnya. Menenangkannya serta berusaha menyeka lukanya.

Tugas selanjutnya adalah sang ayah. Ia lebih bertugas untuk menguatkan. Meyakinkan dirinya bahwa dia akan selalu sanggup menghadapi masalahnya. Menegaskan kepadanya, bahwa ia harus bisa bersikap ‘cuek’ dan tidak memendamnya menjadi bara dalam sekam. Gaya laki-laki, tidak baperan. Dan, seringkali sikap ini memang dibutuhkan saat kita bertemu dengan sesuatu yang “merobek” hati. Kenapa ? Agar hati tidak terkoyak parah dan akal bisa menemukan solusinya yang lebih hangat. 

Ya, sosok laki-laki dengan kekuatan dominan logikanya dibutuhkan si sulung untuk mendapatkan gambaran untuk memposisikan hatinya pada pijakan yang kuat. Pada kasus si sulung kali ini adalah ia dituntut kuat menjalani resiko ketika ia memilih dengan kesadaran dirinya sendiri untuk menjadi ‘agen of change’ yang memang menginginkan perubahan. Ya, menginginkan kebaikan, menginginkan semua yang ada di sekitarnya berjalan sesuai aturan, walau resikonya adalah dikucilkan, dibully, atau dianggap mencari sensasi. 

Seperti gundahnya kali ini. Ketika hatinya begitu terkoyak, saat ia harus mendapati cacian, makian, perundungan lisan bahkan dikucilkan tersebab begitu idealisnya dia untuk menjaga nilai dan norma agar tetap berlaku bagi teman-teman dan lingkungannya. Tapi, bukankah amar ma’ruf nahi munkar itu memang berat ? Itulah yang kesekian kalinya kembali kami ingatkan padanya. Karena, memang kejadian ini bukan baru terjadi saat ini. Beberapa tahun lalu, sejak ia mengawali kehidupan sosial dalam asrama, sebenarnya pun dia sudah pernah mengalami hal serupa. Tapi mungkin, karena kejadian kali ini bersamaan dengan pekan ujian sebagai satu episode yang juga membutuhkan pengelolaan hati, ketika akhirnya mendapatkan kembali kejadian serupa, dia ternyata masih harus mendapatkan pengingat dan membutuhkan penyemangat kembali.

Maka, sesuai kesepakatan dan pola pengasuhan kami kepada anak-anak di rumah, sumber penguatan dan pendampingan mereka saat sedang menghadapi masalah adalah lengkap dari ayah dan ibunya. Jarak tetap tidak membuat kami kesulitan dalam menemani hari-hari mereka di asrama. Dalam doa kami senantiasa menautkan hati. Kami tetap berkomitmen untuk menjaga bonding dengan mereka sekuat mungkin. Tapi, bukan bonding yang kemudian melemahkan mereka sehingga menjadi amat tergantung dengan kami orangtuanya untuk kemudian mempengaruhi aktivitasnya di asrama. Bonding yang harus kami buat adalah bonding yang menguatkan mereka untuk tetap bisa ‘fight’ dimanapun berada, walau tanpa kehadiran kami disisi mereka. 

@Fitry_Ummuza
Posting tertunda di 2018 :D


Komentar

Postingan populer dari blog ini

" Zah..Zah...Ustadzah.."

Ikatlah Semua Asa Di Langit-Nya

Saat Ikhtiar dan Doa Tak Sesuai Taqdir