Ayah, Ruang Hati Yang Dirindukan

Satu hal yang kami temui saat menemani aktifitas anak-anak di rumah edukasi kami ; Rumah Cahaya, adalah betapa mereka merindukan sosok seorang ayah. Ayah ? Apakah anak-anak itu tidak memiliki ayah ? Tidak. Hampir semua anak-anak yang mengikuti kegiatan bersama " Rumah Cahaya " kami memiliki keluarga yang utuh atau lengkap, memiliki ayah dan ibu. Namun, seperti pada umumnya kehidupan keluarga di Indonesia, peran ayah dalam keluarga sepertinya memang masih lekat dengan sebuah sekat yang menghadirkan jarak antara sosok ayah dengan anak-anak . 

Sosok ayah pada sebagian besar kehidupan mereka, hanyalah sosok yang bertugas mencari nafkah, pergi kerja di pagi hari dan pulang di waktu petang atau malam. Keberadaannya saat di rumah pun semata dengan aktifitasnya sendiri. Asyik dengan gadget di tangan, atau menonton televisi sesuai acara kesukaannya tanpa ada yang boleh mengganggu. Beraktifitas sesuai selera para ayah, tanpa melibatkan anak-anaknya. Kalaupun ada acara hangout bersama keluarga, seolah hanya sebagai acara seremonial melepas penat, melepas rasa bosan di rumah. Kebersamaan saat di luar pun, nyaris hanya diwarnai kebersamaan secara fisik, bukan hati. 

Maka, setiap kali anak-anak itu datang ke rumah, dan terlihat antusiasnya saat suami saya menjadi mentor untuk mengajar tahsin, menjawab dengan shabar pertanyaan-pertanyaan ajaib mereka atau pun hadir membacakan buku serta mendongeng, kemudian menemani mereka bermain dan membuat ragam kegiatan bersama, seolah mereka menemukan sosok yang sangat dirindukan kehadirannya selama ini. Pada akhirnya , anak-anak ini pun seringkali harus kami ‘paksa’pulang ketika waktu beraktifitas sudah melebihi batas. Kemudian, raut wajah mereka pun menunjukkan seolah ingin berkata,’ bolehkan kami disini terus ?” 

Dalam satu kesempatan, akhirnya mengalirlah dengan polah yang jujur dari lisan-lisan mereka, tentang betapa inginnya sang ayah hadir tak hanya dalam wujud fisik, tak hanya dalam wujud materi . Betapa mereka ingin pula ditemani sang ayah saat belajar, ditemani saat bermain, diantar hingga kamar menjelang tidur, disapa dengan lembut dan mendengarkan kisah-kisah mereka setiap hari. Ah, betapa banyak harapan-harapan mereka akan sosok ayah untuk melingkupi hati-hati mereka. 

Ayah, selama ini hanya mereka pahami sebagai sosok yang tegas dan keras. Sosok yang hanya mereka ketahui untuk dipatuhi dan dihormati, karena pada bahunya bergantung sumber materi untuk keluarga. Sosok yang tidak boleh ditentang setiap titahnya, sosok yang tak bisa diajak bercengkrama , sosok yang tak bisa diminta untuk membantu mereka belajar. Hanya pada sosok ibu, tugas-tugas itu bertumpu. Sosok ibu, yang juga seringkali mereka kenal sebagai sosok yang “cerewet’, sering marah dan kadang membuat mereka pun akhirnya lelah untuk meminta dan menemukan apa yang mereka cari dan butuhkan. Mungkin karena sudah begitu lelahnya sang ibu dengan beragam aktifitas rumah tangganya . 

Ya, mereka merindukan sosok ayah yang sesungguhnya. Sosok ayah yang memang menjadi sahabat setia ibu mereka dalam mengasuh , lengkap dengan segala pernik-perniknya. Sosok yang bersahabat, yang tak sekedar marah ketika nilai -nilai raport mereka terdapat angka-angka yang mengecewakan. Namun, sosok yang mau membantu lalu memberi motivasi yang menguatkan ketika harus mendapatkan hasil tak sesuai harapan. Sosok yang selalu menyapa lembut dan mau mengusap kepala mereka walau hanya sebentar jelang berangkat keluar. Sosok yang mau mengajari mereka keterampilan-keterampilan hidup yang kelak akan mereka perlukan dalam menjalani kehidupan. Sosok yang menjadi teladan tentang sebuah keImanan, akhlak dan beragam etika dalam kehidupan. Sosok yang mereka pun dengan bangga ingin memanggilnya dengan sebutan ; Ayah. 

Ayah, sesungguhnya adalah sahabat dan mitra sang ibu dalam mendidik anak-anak, menemani setiap episode hari-hari mereka. Tak ada sekat pembagian tugas, bahwa ayah cukup mencari nafkah, dan sang ibulah yang bertanggungjawab untuk pendidikan dan pengasuhan anak-anaknya. Karena, ayah adalah kepala keluarga yang padanya ada tanggung jawab tak sekedar mencari nafkah, melainkan tanggungjawab mendidik keluarga, termasuk anak-anaknya. Maka, ketika ayah melupakan tanggungjawab dan lalai untuk melaksanakan dengan sempurna peran tersebut , sesungguhnya ia sedang menciptakan sebuah ruang tanpa sinar yang hangat untuk hati anak-anak mereka. Ruang untuk ayah yang sebenarnya diharapkan oleh anak-anak hadir dengan terang dan gemilang untuk mewarnai hati-hati , namun kemudian hanya teronggok menjadi ruang gelap, nyaris tak memberi sinar untuk mereka. Ruang yang akhirnya seringkali tergantikan dengan ruang lain yang anak-anak anggap lebih memberi kehangatan . Ruang yang kemudian bisa saja terisi dengan imajinasi-imajinasi yang menghadirkan warna semu untuk kehidupan mereka. 

@fitry_ummuza




Komentar

Postingan populer dari blog ini

" Zah..Zah...Ustadzah.."

Ikatlah Semua Asa Di Langit-Nya

Saat Ikhtiar dan Doa Tak Sesuai Taqdir