Ibu Di Rumah, Pilihan Tanpa Keterpaksaan

Menjadi ibu dan sekedar bekerja di rumah? Awalnya, memang sedikit sulit meyakinkan banyak orang, bahwa itu adalah pilihan terindah untuk saya setelah menempuh hidup berumah tangga. Banyak yang berpikir bahwa suami yang meminta saya untuk cukup menjadi ibu yang tinggal di rumah dan tidak bekerja kantoran. Padahal, sejak awal menikah kami tidak memiliki komitmen apapun untuk masalah ini.

Kenapa saya tidak bekerja? Bukankah sayang ilmu yang sudah diperoleh hingga mendapat gelar sarjana? Itulah juga pertanyaan yang sering terlontar dari banyak orang, termasuk orangtua. Sebenarnya, bukan karena tidak ada lowongan pekerjaan yang sesuai dengan saya, karena memang saya tidak pernah mencoba melamar pekerjaan. Bukan juga karena saya tidak mau membantu suami untuk masalah ekonomi, atau bukan juga karena saya hanya ingin diberi nafkah tanpa mau membantunya ditengah krisis ekonomi yang semakin menggila ini.

Tapi, karena saya menyadari bahwa amanah sebagai seorang istri sekaligus ibu bagi anak-anak saya adalah tugas yang amat berat. Amanah yang tidak bisa dikerjakan untuk sambilan, atau sekedar mengandalkan waktu tersisa yang saya miliki setiap harinya. Karena itulah, saya berusaha menyiapkan diri menjadi seorang istri dan ibu yang shalihah, cerdas dan berwawasan. Itulah tujuan saya menjalani proses pendidikan umum hingga jenjang sarjana. Karena saya sadar, tugas saya selanjutnya adalah menjadi sahabat suami tercinta dalam mendidik anak-anak saya dan - juga lingkungan tentunya- dengan apa yang sudah saya pelajari, atas izin Allah pastinya. Dengan bekal itulah saya bisa berikhtiar, mengoptimalkan usaha saya menjaga amanah–amanah terindah yang sudah Allah berikan untuk saya.

Kebahagiaan yang tidak terhingga, saat detik demi detik saya bisa bertasbih atas semua keagungan yang Allah tunjukkan lewat perkembangan yang menakjubkan dari seorang bayi yang lemah hingga berproses menuju kedewasaan. Detik-detik waktu yang teramat sayang ketika harus terabaikan. Banyak tadzkirah yang saya dapatkan saat-saat indah bersama anak-anak yang aktif. Banyak hikmah yang saya rasakan, banyak munajat yang saya panjatkan, dan banyak rasa syukur yang harus saya ungkapkan, saat semuanya mendidik saya menjadi seorang yang harus sabar. Mendidik saya untuk selalu berusaha menjadi contoh pertama dari anak-anak saya. Mendidik saya untuk senantiasa menjaga setiap lisan dan perbuatan serta hati agar tidak mudah mengeluh lewati episode yang terkadang membuka pintu setan menghembuskan rasa sesal, kesal dan penuh emosi.

Saya menyadari akan menjadi pintu pertama untuk anak-anak saya mendapatkan pelajaran tentang dunia dan segala perniknya. Saya akan menjadi gerbang informasi pertama ketika mereka mulai belajar tentang hakikat kehidupan ini. Saya akan menjadi orang pertama yang harus senantiasa membisikkan kalimat-kalimat meninggikanNya. Sayalah yang mau tidak mau menjadi contoh pertama dalam setiap amal kata dan perbuatan mereka. Saya juga yang akan mengajari mereka pertama kali membaca Al Quran, menghafalnya dan berusaha mengamalkannya. Ya, saya juga harus cerdas berilmu, karena sayalah yang akan menjadi guru pertama mereka saat mereka masuk bangku sekolah. Saya yang akan membantu mereka mengerjakan PR nya, dan sayalah yang akan menjadi guru les mereka, saat mereka membutuhkan tambahan pelajaran.

Sebagai seorang ibu di rumah, saya merasa sangat bisa optimal untuk mengamalkan ilmu yang saya dapatkan tanpa dikejar-kejar dedline, tanpa diiming-imingi keindahan duniawi. Karena itu, jika ada yang bertanya, kenapa saya memilih untuk menjadi ibu yang bekerja di rumah ? Itu karena saya ingin menikmati semua aktifitas di rumah. Menyetrika, bercengkrama dengan anak-anak, menyambut suami pulang kerja, mengantar jemput anak sekolah, bersama-sama shalat 5 waktu, menemani mereka makan sambil berceloteh riang tentang hari yang dilewatinya, menemaninya belajar, membacakan cerita, mengajarkannya Alquran dan mulai menghafalnya, mengantarnya tidur dengan tak lupa membaca doa, kemudian saya pun merasakan nikmatnya beristirahat, mengakhiri satu hari bersama mereka.

Tugas yang mungkin terkesan ringan, membosankan, menjenuhkan. Tapi, sesungguhnya semua tugas sederhana itu memerlukan ilmu yang sangat luas, memerlukan kesungguhan dalam menuntutnya, memerlukan pemahaman untuk dapat mengaplikasikannya dan membutuhkan keikhlasan dalam menikmatinya. Dan ini adalah sebuah pilihan. Pilihan yang harus disadari penuh segala konsekwensinya.

Karena itulah, saya pun dulu  belajar hingga perguruan tinggi. Bahkan hingga kini dan sampai nanti saya menutup mata, sayapun akan terus belajar.  Karena menjadi ibu, sebenarnya tidaklah cukup gelar sarjana, tidaklah cukup menghafal kitab hadist, tidaklah cukup mempelajari ilmu agama dalam satu rentang waktu terbatas. Semua ruang dalam kehidupannya kelak bersama keluarga, adalah kelas belajar. Dalam diri seorang ibu haruslah terangkum kefahaman ilmu agama, akhlak ibadah, sains, kesehatan, teknologi, psikologi, akuntansi, hukum , dan berbagai ilmu yang membentang luas sebagai anugerah dari-Nya. Memang tidak akan bisa sempurna, tapi ibulah yang harus mengoptimalkan semua potensi yang ada padanya untuk mengenal dan mempelajarinya sebagai bekal mendidik anak-anak mereka.



#Day26
#Squad1
#30DWCjilid10
#30DWC







Komentar

Postingan populer dari blog ini

" Zah..Zah...Ustadzah.."

Ikatlah Semua Asa Di Langit-Nya

Saat Ikhtiar dan Doa Tak Sesuai Taqdir