Denting Doa Dalam Amarah

Saya seorang ibu biasa, manusia biasa dengan segala ‘kesempurnaannya’ sebagai manusia, yaitu penuh dengan kelemahan dan kelalaian. Seringkali, saat menyadari hal ini, maka saya pun termotivasi untuk terus menjaga agar kelemahan ini tidak sampai membuat pintu-pintu kelemahan lain terbuka lebar dan kelak akan mengurangi kebaikan-kebaikan yang harus saya kumpulkan sebagai pertanggungjawaban kelak saat menghadapi hari perhitungan di akhirat nanti.

Saya ibu biasa yang bisa marah , juga bercanda sampai berguling-guling dengan anak-anak.Yang sering menciumi mereka dengan sepenuh cinta, tapi pernah juga menajamkan sorot mata atau membuat volume suara meninggi hingga mereka terdiam dan tercekat. Walau akhirnya , saya akan memeluk mereka dan membisikkan  sangat dekat di telinga, berharap sampai menyentuh hati mereka.
" Ummi minta maaf ya, kalau marahnya tadi menghebat dan membuatmu tergugu menahan tangis.."
Setelah itu, kami akan berpelukan . Mereka pun mencium tangan dan membalas dengan polah kanak-kanak.
" Za juga minta maaf ya mi..."
"Zaheed minta maaf ya mi.."
" Maafin Husna ya mi.."

Kemudian, kami  akan tertawa bersama lagi, seolah melupakan apa yang baru saja terjadi.

Seringkali, episode itu kembali berulang tanpa diminta. Apatah lagi, ketika kelemahan seorang ibu yang juga seorang wanita ini pun bertambah saat "beban-beban" hidup terasa begitu menghimpit. Pun bertambah saat lelah fisik menghampiri tak ada penawar. Saat seharian rumah belum juga kunjung rapi dan wangi, karena berbagi dengan tugas-tugas lain yang tak bisa dihindari. Saat tumpukan setrikaan terpaksa harus ditutupi selembar kain agar tak dirasa  mengganggu lintasan pandangan. Saat panggilan ' amanah' diluar terasa seperti suara sirene yang mengaung-ngaung, membuat pola di pikiran melingkar-lingkar. Saat deringan telpon atau suara tingnong sms meminta jawaban segera , atau saat berbaris rapi catatan-catatan capaian yang melambai-lambai untuk minta segera dituntaskan.
Hingga terkadang, segelas teh manis yang dibuat sejak pagipun sempurna dingin dan mengental di sore hari tanpa sempat dinikmati.

Tapi kemudian, ketika akhirnya pada satu waktu bisa menemukan kondisi untuk lebih tenang dan merefleksikan semua aktivitas hari itu, rasanya menjadi malu ketika itu semua hadir menjadi satu keluhan. Bukankah itu pilihan tugas menjadi seorang wanita , istri dan kemudian ibu? Rasanya semakin malu jika hanya karena itu semua menjadi alasan tak ada cerita indah untuk anak-anak nanti. Rasanya akan terasa sedih, saat yang diingat oleh anak-anak saat besar nanti adalah " ibuku yang suka marah."
Duuh, nggak terbayang kan menyesalnya ?

Maka, pernah satu waktu setelah berkutat dengan amanah di luar lalu masuk ke dalam rumah. Seketika pandangan langsung mengabur , berpadu dengan syetan yang menghembuskan emosi itu merangsek naik. Melihat satu ruangan menjelma menjadi kapal pecah berkeping-keping, dihiasi cat air yang menggenang di lantai plus kertas-kertas yang bertebaran tak karuan. Sedang sang jagoan yang menjadi tersangka pelaku, sedang asyik di kamar dengan buku di tangannya . Teringat tadi pagi saat mereka tidak di rumah, begitu lelah terasa sendirian menyapu lantai atas dan bawah seisi rumah , mengepel dan kembali merapikan serpihan-serpihan yang juga mereka sisakan di malam harinya, kemudian menyelesaikan tumpukan pekerjaan rumah yang menggunung. Sungguh , penat pun belum hilang dirasakan tulang - tulang saat itu.

Namun, atas izin-Nya, kesadaran pun muncul ketika suasana ini datang menguji keshabaran. Ruang hati teringat lagi satu hikmah akan kehidupan seorang ulama dan sang ibunda. Akhirnya, walau dengan suara naik dengan satu oktaf,
" Ya Allah Zaheed, hafidz , ilmuwan cerdas sholeh, calon pembuka dan imam masjid Al Aqshaa...Ya allaaah, naaak..." 
Atau saat si sulung menyepelekan tugas-tugas harian atau hafalan nya dengan satu alasan "malas ".
" Zaaa, semoga jadi mujahidah, hafidzah, ustadzah , wanita sebaik-baik zaman nya, penghuni surga ." 
Dan, MasyaAllah, kalimat kalimat itulah yang kemudian seolah sanggup membuat rasa gusar merangsek turun, dan menstabilkan kondisi hati untuk lepas dari hembusan amarah yang mungkin bisa menjadi angkara.

Ya, ada amarah di saat-saat seperti itu. Sorot mata yang menajam, suara yang mungkin terdengar melengking dengan iringan rentetan doa dan harapan yang terucap. Tapi, k emudian, mereka pun akan tertunduk menyesal. Segera beranjak menyelesaikan yang tertunda atau meluruskan yang salah , kemudian berucap, " Maaf ya, Mi..."

Hening. Kemudian saya pun berwudhu. Menikmati aliran air dingin yang menelusup dan kemudian merasakan ketenangan. MasyaAllah, benarlah sabda sang Rasulullah , bahwa obat pengendali marah yang pertama, adalah dengan berwudhu.  Alhamdulillah, bersandar pada Allah atas kelemahan diri yang sungguh berusaha disiasati terus. Saya berharap, doa -doa saya untuk mereka yang menghias wujud amarah tadi , akan menjadi penebus kelemahan saya. Dan, semoga akan  Allah kabulkan dengan penuh kebaikan-Nya , Dia Yang Maha Baik dan Maha Lembut. 


@fitry_ummuza




Komentar

Postingan populer dari blog ini

" Zah..Zah...Ustadzah.."

Ikatlah Semua Asa Di Langit-Nya

Saat Ikhtiar dan Doa Tak Sesuai Taqdir